TUHAN SANG PELUKIS (Sebuah Refleksi Atas Bencana Erupsi Gunung Lewotobi) Oleh: Ano Andal (Guru di SMA Katolik St. Maria Iteng)
Coretan sederhana ini, terinspirasi dari kejadian beberapa
tahun lalu di dalam sebuah ruangan kelas di tempat saya mengabdi. Seorang anak
murid saya, melukis wajah seseorang di atas sebuah kertas ketika saya sedang menjelaskan
materi. Sejak awal, saya memang memperhatikan dia tetapi saya membiarkannya. Jam
pertama dari mata pelajaran yang saya ampuh, dia habiskan untuk menyelesaikan
gambarnya dan dia menggambar menggunakan beberapa pensil warna yang dibawanya
sendiri. Setelah saya melihat dia sudah menyelesaikannya, tanpa sepatah kata
pun saya mengambilnya dan menyimpannya di atas meja guru. Ketika saya
mengambilnya, dia juga tidak melarang atau protes. Mungkin dia berpikir kalau apa
yang saya lakukan itu tidak salah karena dia menggambar pada waktu yang tidak
tepat. Setelah KBM, saya membawa gambar dan dalam perjalanan ke ruang guru,
saya merobeknya menjadi empat bagian. Saat istirahat, dia menemui saya dan
menanyakan lukisannya. Saya pun menjawab, “Saya sudah merobek kertasnya.
Silahkan ambil di tempat sampah”. Di luar dugaan saya, dia menangis. Kemudian saya
bertanya, “Kenapa kau menangis?”. “Saya gambarnya dari tadi malam Pak Guru. Tadi
hanya lanjut sedikit dan diberi warna”, jawabnya dengan nada sedih. “Saya tidak
pernah melarang kamu untuk melukis. Tapi kamu melukis di waktu yang salah.
Apakah kamu tidak sadar kalau kamu sudah berbuat salah?” tanyaku. “Ia Pak Guru.
Saya salah tetapi tolong Pak Guru jangan ambil keputusan sepihak”, jawabnya
dengan nada memohon. Lalu saya pun menyambung, “Kalau begitu, saya minta maaf atas
kejadian ini. Kamu punya kemampuan tapi saya mohon, asah kemampuan kamu di
waktu yang tepat”, jawabku meyakinkan dia.
Cerita di
atas bagi saya adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari profesi saya sebagai
seorang guru di balik heningnya dinding kelas. Wajah-wajah mereka ketika berada
dalam kelas tak lain adalah gambaran dari tugas yang saya emban. Ada apa di
balik kisah ini?
Saat ini, media-media
berita baik cetak maupun elektronik menyuguhkan berita tentang meletusnya
Gunung Lewotobi yang berada di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Nyawa
melayang dan ribuan jiwa mencari tempat yang nyaman. Isak tangis dari orang-orang
yang kehilangan kerabat dan keluarga seolah-olah menjadi doa yang terus didaras.
Apakah bencana ini adalah sebuah hukuman dari Tuhan? Ataukah karena manusia tak
lagi menganggap bahwa alam adalah “kekasih”nya?
Cerita yang menjadi
awal tulisan saya ini menghantar saya pada sebuah pemikiran bahwa air mata dari
murid saya adalah sebuah ekpresi kesedihan. Kesedihan karena lukisannya dirobek.
Indahnya lukisan yang digambarnya, hilang seketika karena keputusan sepihak
yang saya ambil. Sejatinya, dia adalah seorang pelukis terbaik yang saya kenal,
yang “harta”nya saya ambil tanpa kompromi. Imajinasinya tentu tak terulang lagi
untuk gambar yang sama. Memulainya lagi, tentu waktu dan prosesnya tidak sama. Meskipun
kertasnya sama, pensil yang digunakan sama tetapi hasilnya pasti berbeda.
Terinspirasi
dari pengalaman ini, saya pun pada akhirnya mengatakan bahwa Tuhan pada hakikatnya
adalah seorang pelukis. Sebuah gelar pun, diberikan kepada-Nya, TUHAN SANG
PELUKIS. Tuhan dengan imajinasinya yang tak terbahasakan, melukis manusia di
atas kertas (bumi) dengan begitu indah. Segala sesuatu diwarnainya dengan
begitu apik. Lautan dan daratannya dipisahkan dengan jelas dan warna yang
jelas. Manusia yang menjadi lukisan termulia-Nya, menjadi pemilik sejati atas
semua itu karena Dia melihat semuanya baik. Manusia diberi kuasa untuk menjaga,
memelihara dan menggunakannya. Ketika Gunung Lewotobi meletus, ada begitu
banyak penafsiran yang muncul. Penafsiran itu muncul dari berbagai sudut
pandang antara lain, mitos, ilmu pengetahuan dan tak ketinggalan agama. Dari sudut
pandang mitos, terjadi letusan karena tidak ada ritual adat untuk Gunung
Lewotobi, karena masyarakat sekitar menganggap bahwa Gunung Lewotobi adalah simbol
sumai-istri, Gunung Lewotobi laki-laki dan Gunung Lewotobi Perempuan. Dari
sudut pandang ilmu pengetahuan dengan kajiannya, Gunung Lewotobi memang gunung
api aktif, yang sewaktu waktu bisa meletus. Dari sudut pandang agama pun muncul.
Ketika manusia tidak bersahabat dengan alam, maka alam sebagai wujud yang
kelihatan dari sosok Tuhan tentu murka. Lukisan yang begitu indah dirusak tanpa
kompromi oleh manusia. Manusia melupakan pemilik lukisan yang sebenarnya. Jujur,
masyarakat sekitar Lewotobi tidak merusaknya tetapi Tuhan menggunakannya sebagai
sebuah teguran untuk seluruh umat manusia. Sadar atau tidak, kehidupan kita
saat ini dibanjiri kenikmatan dunia sampai melupakan Tuhan. Handphone
jauh lebih penting dari bertemu Tuhan di tempat berdoa dan lebih tragis, organ
tubuh yang menjadi lukisan Tuhan yang sempurna, diambil untuk dijual demi
kenikmataan duniawi. Apakah ini etis? Apakah ini manusiawi? Apakah bumi dan
segala isinya, sebagai lukisan Tuhan tak cukup untuk menghidupi kita? Manusia tidak
bisa berbohong. Manusia mengakui bahwa Tuhan itu ada. Pernyataan ini sangat
mendasar dan sangat substansial serta bisa dipertanggungjawabkan. Contohnya sangat
sederhana. Ketika hal yang terjadi di luar nalar kita, maka kalimat pertama
yang keluar dari mulut kita adalah Tuhan, mengapa ini terjadi? Atau, Tuhan
ampunilah kami, Tuhan tolonglah kami. Hal ini sebenarnya
menggambarkan kerapuhan manusia di hadapan Tuhan karena Tuhan lah yang berada
di atas segalanya.
TUHAN SANG PELUKIS, memiliki lukisan
yang indah yang dititipkan-Nya untuk kita manusia dan kita adalah hasil
lukisan-Nya yang sempurna. Ketika kita “merobeknya” tanpa kompromi, Tuhan pasti
marah. Saatnya kita berbenah dan bertanya, apakah kita menghargai lukisan
Tuhan? Seisi dunia adalah lukisan Tuhan. Menggunakan “lukisan” Tuhan demi kebutuhan
kita manusia bukanlah sesuatu yang salah karena memang Dia menginginkannya
demikian. Tetapi Ketika kita menggunakannya sampai merusak-Nya dengan “merobek”,
di sinilah Tuhan menegur kita. Pablo Picasso pernah berkata, seni adalah
kebohongan yang membuat kita menyadari kebenaran namun bagi Tuhan, seni adalah
kejujuran yang membuat kita menyadari keberadaan. TUHAN SANG PELUKIS pasti
meneguhkan saudara dan saudari kita yang terkena dampak dan menjadi korban erupsi
Gunung Lewotobi. Tuhan mencintai mereka karena mereka semua adalah hasil lukisan
tangan-Nya sendiri. Doa-doa kita dan bantuan yang kita berikan untuk mereka pasti
melahirkan sebuah lukisan yang indah lagi, yang tergambar rapi di bumi “Reinha
Rosari. Refleksi sederhana tidak menggambarkan mengapa sampai Gunung Lewotobi
Erupsi, tetapi lebih merupakan sebuah refleksi iman. (Red.)