Berita

SPANDUK PPDB

Kontak

Alamat :

Iteng, Desa Iteng, Kec. Satar Mese, Kab. Manggarai

Telepon :

082217845687 - 081239431799

Email :

smast.mariaiteng.@yahoo.co.id

Website :

stmariaiteng.sch.id

Media Sosial :

Kalender

Januari 2025

Mg Sn Sl Rb Km Jm Sb
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
12 13 14 15 16 17 18
19 20 21 22 23 24 25
26 27 28 29 30 31

TUHAN SANG PELUKIS (Sebuah Refleksi Atas Bencana Erupsi Gunung Lewotobi) Oleh: Ano Andal (Guru di SMA Katolik St. Maria Iteng)

Coretan sederhana ini, terinspirasi dari kejadian beberapa tahun lalu di dalam sebuah ruangan kelas di tempat saya mengabdi. Seorang anak murid saya, melukis wajah seseorang di atas sebuah kertas ketika saya sedang menjelaskan materi. Sejak awal, saya memang memperhatikan dia tetapi saya membiarkannya. Jam pertama dari mata pelajaran yang saya ampuh, dia habiskan untuk menyelesaikan gambarnya dan dia menggambar menggunakan beberapa pensil warna yang dibawanya sendiri. Setelah saya melihat dia sudah menyelesaikannya, tanpa sepatah kata pun saya mengambilnya dan menyimpannya di atas meja guru. Ketika saya mengambilnya, dia juga tidak melarang atau protes. Mungkin dia berpikir kalau apa yang saya lakukan itu tidak salah karena dia menggambar pada waktu yang tidak tepat. Setelah KBM, saya membawa gambar dan dalam perjalanan ke ruang guru, saya merobeknya menjadi empat bagian. Saat istirahat, dia menemui saya dan menanyakan lukisannya. Saya pun menjawab, “Saya sudah merobek kertasnya. Silahkan ambil di tempat sampah”. Di luar dugaan saya, dia menangis. Kemudian saya bertanya, “Kenapa kau menangis?”. “Saya gambarnya dari tadi malam Pak Guru. Tadi hanya lanjut sedikit dan diberi warna”, jawabnya dengan nada sedih. “Saya tidak pernah melarang kamu untuk melukis. Tapi kamu melukis di waktu yang salah. Apakah kamu tidak sadar kalau kamu sudah berbuat salah?” tanyaku. “Ia Pak Guru. Saya salah tetapi tolong Pak Guru jangan ambil keputusan sepihak”, jawabnya dengan nada memohon. Lalu saya pun menyambung, “Kalau begitu, saya minta maaf atas kejadian ini. Kamu punya kemampuan tapi saya mohon, asah kemampuan kamu di waktu yang tepat”, jawabku meyakinkan dia.

            Cerita di atas bagi saya adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari profesi saya sebagai seorang guru di balik heningnya dinding kelas. Wajah-wajah mereka ketika berada dalam kelas tak lain adalah gambaran dari tugas yang saya emban. Ada apa di balik kisah ini?

            Saat ini, media-media berita baik cetak maupun elektronik menyuguhkan berita tentang meletusnya Gunung Lewotobi yang berada di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Nyawa melayang dan ribuan jiwa mencari tempat yang nyaman. Isak tangis dari orang-orang yang kehilangan kerabat dan keluarga seolah-olah menjadi doa yang terus didaras. Apakah bencana ini adalah sebuah hukuman dari Tuhan? Ataukah karena manusia tak lagi menganggap bahwa alam adalah “kekasih”nya?

            Cerita yang menjadi awal tulisan saya ini menghantar saya pada sebuah pemikiran bahwa air mata dari murid saya adalah sebuah ekpresi kesedihan. Kesedihan karena lukisannya dirobek. Indahnya lukisan yang digambarnya, hilang seketika karena keputusan sepihak yang saya ambil. Sejatinya, dia adalah seorang pelukis terbaik yang saya kenal, yang “harta”nya saya ambil tanpa kompromi. Imajinasinya tentu tak terulang lagi untuk gambar yang sama. Memulainya lagi, tentu waktu dan prosesnya tidak sama. Meskipun kertasnya sama, pensil yang digunakan sama tetapi hasilnya pasti berbeda.

            Terinspirasi dari pengalaman ini, saya pun pada akhirnya mengatakan bahwa Tuhan pada hakikatnya adalah seorang pelukis. Sebuah gelar pun, diberikan kepada-Nya, TUHAN SANG PELUKIS. Tuhan dengan imajinasinya yang tak terbahasakan, melukis manusia di atas kertas (bumi) dengan begitu indah. Segala sesuatu diwarnainya dengan begitu apik. Lautan dan daratannya dipisahkan dengan jelas dan warna yang jelas. Manusia yang menjadi lukisan termulia-Nya, menjadi pemilik sejati atas semua itu karena Dia melihat semuanya baik. Manusia diberi kuasa untuk menjaga, memelihara dan menggunakannya. Ketika Gunung Lewotobi meletus, ada begitu banyak penafsiran yang muncul. Penafsiran itu muncul dari berbagai sudut pandang antara lain, mitos, ilmu pengetahuan dan tak ketinggalan agama. Dari sudut pandang mitos, terjadi letusan karena tidak ada ritual adat untuk Gunung Lewotobi, karena masyarakat sekitar menganggap bahwa Gunung Lewotobi adalah simbol sumai-istri, Gunung Lewotobi laki-laki dan Gunung Lewotobi Perempuan. Dari sudut pandang ilmu pengetahuan dengan kajiannya, Gunung Lewotobi memang gunung api aktif, yang sewaktu waktu bisa meletus. Dari sudut pandang agama pun muncul. Ketika manusia tidak bersahabat dengan alam, maka alam sebagai wujud yang kelihatan dari sosok Tuhan tentu murka. Lukisan yang begitu indah dirusak tanpa kompromi oleh manusia. Manusia melupakan pemilik lukisan yang sebenarnya. Jujur, masyarakat sekitar Lewotobi tidak merusaknya tetapi Tuhan menggunakannya sebagai sebuah teguran untuk seluruh umat manusia. Sadar atau tidak, kehidupan kita saat ini dibanjiri kenikmatan dunia sampai melupakan Tuhan. Handphone jauh lebih penting dari bertemu Tuhan di tempat berdoa dan lebih tragis, organ tubuh yang menjadi lukisan Tuhan yang sempurna, diambil untuk dijual demi kenikmataan duniawi. Apakah ini etis? Apakah ini manusiawi? Apakah bumi dan segala isinya, sebagai lukisan Tuhan tak cukup untuk menghidupi kita? Manusia tidak bisa berbohong. Manusia mengakui bahwa Tuhan itu ada. Pernyataan ini sangat mendasar dan sangat substansial serta bisa dipertanggungjawabkan. Contohnya sangat sederhana. Ketika hal yang terjadi di luar nalar kita, maka kalimat pertama yang keluar dari mulut kita adalah Tuhan, mengapa ini terjadi? Atau, Tuhan ampunilah kami, Tuhan tolonglah kami. Hal ini sebenarnya menggambarkan kerapuhan manusia di hadapan Tuhan karena Tuhan lah yang berada di atas segalanya.

TUHAN SANG PELUKIS, memiliki lukisan yang indah yang dititipkan-Nya untuk kita manusia dan kita adalah hasil lukisan-Nya yang sempurna. Ketika kita “merobeknya” tanpa kompromi, Tuhan pasti marah. Saatnya kita berbenah dan bertanya, apakah kita menghargai lukisan Tuhan? Seisi dunia adalah lukisan Tuhan. Menggunakan “lukisan” Tuhan demi kebutuhan kita manusia bukanlah sesuatu yang salah karena memang Dia menginginkannya demikian. Tetapi Ketika kita menggunakannya sampai merusak-Nya dengan “merobek”, di sinilah Tuhan menegur kita. Pablo Picasso pernah berkata, seni adalah kebohongan yang membuat kita menyadari kebenaran namun bagi Tuhan, seni adalah kejujuran yang membuat kita menyadari keberadaan. TUHAN SANG PELUKIS pasti meneguhkan saudara dan saudari kita yang terkena dampak dan menjadi korban erupsi Gunung Lewotobi. Tuhan mencintai mereka karena mereka semua adalah hasil lukisan tangan-Nya sendiri. Doa-doa kita dan bantuan yang kita berikan untuk mereka pasti melahirkan sebuah lukisan yang indah lagi, yang tergambar rapi di bumi “Reinha Rosari. Refleksi sederhana tidak menggambarkan mengapa sampai Gunung Lewotobi Erupsi, tetapi lebih merupakan sebuah refleksi iman. (Red.)